Sertifikasi guru merupakan idaman bagi kebanyakan guru disekolah, negeri maupun swasta, baik sekolah dibawah naungan dinas pendidikan (Dikbud) atau departemen agama (Kemenag). Lulusnya seseorang dalam ujian sertifikasi guru, secara otomatis akan berhak menyandang gelar Guru Profesional dan berhak pula menerima tunjangan yang nilainya cukup banyak dibandingkan guru honor sekolah biasa (non-sertifikasi).
Supervisi Perangkat Administrasi Guru
Perangkat administrasi pembelajaran merupakan dokumen yang harus dimiliki oleh tenaga pendidik. Perangkat tersebut idealnya akan diverval (verifikasi dan validasi) oleh kepala sekolah sebelum nantinya disetujui lalu digunakan sebagai acuan proses pembelajaran oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Setelah disetujui dan di-sah-kan oleh kepala sekolah sebagai pimpinan. Dokumen tersebut sewaktu-waktu akan diperiksa oleh pengawas sebagai utusan perwakilan Dinas Pendidikan yang bertugas sebagai instansi yang juga harus memastikan bahwa administrasi pendidikan tersebut telah sesuai dengan amanat kurikulum pendidikan nasional. Seperti itulah alur dan gambaran proses supervisi guru disekolah, meskipun, kondisi ideal tersebut masih sangat jarang ditemukan, meskipun sekarang terlihat sudah mulai sedikit tertib.
Perangkat administrasi guru merupakan sebuah kewajiban yang harus terpenuhi sebelum seorang guru menuntut hak-hak mereka. Guru diberikan kebebasan untuk menyesuaikan rencana pembelajaran dengan kondisi sekolah tempat mereka mengajar, tentunya tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Kondisi ini semestinya memberikan peluang berkreasi dan menuntut kreatifitas guru bersangkutan dalam menyusun rencana pembelajaran. Tapi, ternyata kondisi ideal yang diharapkan tidak lalu sama dengan kenyataannya, tidak sedikit guru menyusun perangkat adminitrasi dengan metode adopsi-adaptasi tanpa benar-benar mengerti dengan perangkat yang ditemukan diinternet atau sumber-sumber lainnya. Dengan adanya supervisi perangkat administrasi guru seharusnya menjadi jalan keluar atas kondisi guru hari ini.
Kompetensi Guru Profesional
Seorang pendidik merupakan agen pendidikan yang setidaknya memiliki 4 (empat) kompetensi, yaitu: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial (PP RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan seseorang yang mencerminkan sikap dan karakter yang dapat menjadi tauladan bagi para peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan seseorang dalam mengelola pembelajaran yang mendidik dan kemampuan memahami kepribadian peserta didik, sehingga guru dapat menjadi objektif dalam menjalankan proses pembelajaran hingga melakukan evaluasi yang objektif. Kompetensi professional berkenaan dengan kemampuan guru dalam penguasaan substansi materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial terkait dengan kemampuan guru untuk berinteraksi dengan masyarakat dan stakeholder sekolah tempat mengajar.
Semenjak berlakunya aturan tentang sertifikasi guru, banyak orang berbondong-bondong alih profesi untuk menjadi guru yang notabene mereka tidak memahami dunia pendidikan dan tidak memiliki kualifiikasi menjadi seorang guru, dengan harapan mendapat mendapat predikat guru profesional serta mendapat gaji sertifikasi untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Sayangnya, orientasi tersebut menjadikan mereka (guru sertifikasi oriented) lupa dengan tugas dan tujuan mulia profesi guru, yaitu sebagai agen pendidikan yang memberikan didikan yang baik untuk peserta didik dan sebagai agen pembentuk karakter/akhlaq, bukan hanya sebagai sumber belajar bagi peserta didik, seperti guru dijaman dulu. Tentunya, kondisi ini sangat bertolak belakang dengan tujuan ideal dari proses sertifikasi guru, yaitu sebagai sarana untuk menentukan kelayakan dan meningkatkan mutu guru sebagai agen pembelajaran dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tentunya memiliki syarat administratif yang sesuai.
Pada kenyataannya tidak banyak guru yang benar-benar menyadari kewajiban mereka terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus direncana dan siapkan oleh guru mata pelajaran. Berbagai macam dalih dijadikan tameng untuk menghindari kewajiban tersebut, dari alasan “proses pembelajaran tidak pernah sesuai dengan rencana pembelajaran” hingga “pemerintah terlalu memberikan tuntutan yang banyak kepada guru” ujung-ujungnya merasa diabaikan, dibebankan pemerintah, sehingga, mereka menuntut hak-hak mereka (gaji yang layak dan harapan diangkat menjadi PNS) sebagai guru.
Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka tentu akan sangat menghawatirkan bagi kondisi pendidikan nasional kita hari ini dan hari mendatang. Bukankah tujuan sertifikasi guru adalah untuk mengontrol serta meningkatkan mutu pendidikan nasional dan anggarannya telah dinaikkan hingga Rp. 79,6 triliun, yang pada kenyataanya banyak guru sertifikasi justru tidak menjadikannya (guru) bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan berinteraksi dengan guru lainnya, peserta didik, masyarakat dan stakeholder lainnya. Bukankah anggaran pendidikan nasional telah meningkat hingga Rp. 508 triliun pada tahun 2020, tapi kenyataannya kemampuan membaca, matematika dan sains peserta didik terus menurun, ditandai dengan menurunnya ranking PISA Indonesia dari urutan ke-65 (2015) menjadi ranking ke-72 (2018) dari 77 negara. Tentunya kondisi ini menjadi bahan pemikiran kita bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Kondisi ini menandakan adanya ketidak-tersambungan prilaku dan harapan antara masyarakat dan pemerintah.
Semoga pada masa mendatang kondisi ini dapat berubah lebih baik, sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan nasional. Guru bersikap objektif dengan hak dan kewajibannya menjadi guru profesional yang tersertiikasi, dan layak mendapatkan label Guru Profesional. Dilain sisi, peran pemerintah dapat lebih baik pula dalam menyikapi kondisi kesejahteraan guru, tidak hanya guru tersertifikasi, karena tidak sedikit guru honor biasa justru memiliki potensi pendidik yang bermutu tanpa label guru tersertifikasi.